Om Pedro dan Trotoar

Sudah 2 malam berturut-turut aku melintasi titik lapaknya namun tak pernah ada. Sekitar pukul setengah 11 malam ini aku beranjak dari penginapan, berjalan kaki menyusuri Jalan Kaliurang (Jakal) Km 4, tempat dia biasa menjajakkan minumannya dan malam ini keberuntungan berpihak padaku.

“Halo Om Pedro, apa kabar?”

“Alhamdulillah sehat, monggo-monggo Mas.”

Aku mengambil daftar menu dan memilih guava yoghurt. Lalu aku memilih duduk di emperan tepat di depan toko yang sudah tutup. Pesananku jadi, langsung kuminum sedikit-sedikit, cita rasa uniknya tak berubah dari dulu. Om Pedro ikut duduk di sebelahku dan aku mulai perbincangan, dia adalah orang yang ramah dan memang suka mengobrol apapun dengan pelanggan-pelanggannya.

“Masih suka mancing nggak Om kalo hari Jumat?”

“Udah nggak pernah mancing lagi sekarang Mas.”

“Lho kenapa Om, apa kemarau panjang kemaren?”

“Nggak Mas, sekarang apa aja tak kerjain, termasuk anter-anter Shopee gitu. Ini juga minuman kalo ada yang pesen anter, tak anter.”

Dia lanjut menceritakan kesibukannya dengan sang istri selain usaha Trotoar Street Bar ini, aku menceritakan pertama kali aku mencoba Trotoar di tahun 2012 saat masih mahasiswa baru. Saat akhir pekan aku sering kumpul dengan teman-teman SMA ku yang sama-sama merantau di Jogja. Kos temanku yang berlokasi di Pogung Kidul menjadi titik kumpul kami, saat itu kami masih belum ada kendaraan sehingga kemana-mana jalan kaki. Kosku yang saat itu di Karangwuni pasti melewati Jakal untuk ke Pogung. Suatu ketika kami melihat Trotoar Street Bar ini di pinggiran Jakal, kesan eye catching dari tampilannya membuat kami penasaran ingin mencobanya. Etalase sederhana full black and white bergambar siluet wajahnya, bertuliskan 0% alcohol dan sang street bartender yang setia menunggu di baliknya, Om Pedro, begitulah dia memperkenalkan dirinya kepada para pelanggan. Sebuah nama panggung yang lupa kutanyakan dari mana inspirasinya.

Seiring berjalannya waktu ternyata banyak dari temanku yang juga suka ke Trotoar dan mengenal dia, alasannya sama, cita rasa minuman yang unik tidak ditemukan di tempat lain, Om Pedro yang ramah dan suasana yang “Jogja banget” duduk di emperan sambal berbincang di malam hari ditemani lampu jalan dan lalu lalang kendaraan. Namun tidak mudah untuk mempertahankan Trotoar, sempat beberapa kali pindah. Di Pasar Demangan, di sini tempatnya sudah berbentuk kedai namun sempit, lalu pernah tepat di depan rumah Om Pedro daerah Karangwuni sebelum akhirnya kembali ke tempat semula namun berjualannya dengan becak yang diparkir. Setelah masa itu aku lulus dan tidak tahu lagi kondisinya hingga kemarin aku liburan ke Jogja dan masih di lokasi yang sama, hanya saja sekarang dengan mobil kijang lawas yang catnya sudah banyak terkelupas.

“Kok kemaren-kemaren aku lewat nggak keliatan Om? Tapi pas aku lewat Karangwuni, mobilnya ada.”

“Sekarang saya jualannya cuma 2 kali seminggu, Rabu sama Sabtu Mas.”

“Karena sibuk yang kerjaan lainnya tadi Om?”

“Bukan Mas, saya tuh sebenernya pengen buka terus tapi sekarang animo nya nggak kaya dulu apalagi semenjak abis covid. Kalo dulu masih bisa rame, sekarang paling pelanggannya ya pelanggan-pelanggan lama termasuk kaya sampeyan (anda) ini.”

Memang saat ini orang-orang lebih pilih ke cafe, hal ini juga selaras dengan begitu menjamurnya jumlah cafe yang ada di Jogja. Bisa dilihat dari jarak sekian, sudah banyak café saling berdekatan.

“Terus kenapa Om masih mau jualan Trotoar ini?”

“Karena jiwa saya di sini Mas, saya pengen Trotoar ini ada terus.” Jawab Om Pedro bersemangat.

“Kalo gitu nanti bakal diwarisin ke anaknya Om?”

“Kalo itu terserah anaknya Mas, tapi selagi saya mampu saya pengen Trotoar tetep ada!”

Tak lama kemudian ada sebuah mobil putih parkir di depan kijang lawasnya Om Pedro. Turun sepasang laki-laki dan Perempuan, Om Pedro langsung menyapa dengan menyebut kedua nama orang tersebut. Mereka duduk di kursi, memilih menu sambil berbicang dengan Om Pedro. Sebagian obrolan mereka terdengar olehku karena aku duduk emperan tak jauh dari situ.

“Dia ni Om yang pengen anaknya 3, padahal saya pengennya 2 aja.” Ujar si laki-laki sambil menunjuk.

“Ya gak apa-apa 3 aja.” Balas si Perempuan.

“Yowes anaknya 4 aja ntar.” Timpal Om Pedro dan mereka bertiga tertawa.

Aku mengira mereka pacaran, ternyata sudah menikah jika kusimpulkan dari obrolan mereka. Jujur aku sangat iri melihat momen seperti ini di tengah kesedihanku terbesarku, melihat orang yang bisa menikah dengan orang yang dicintainya, bercanda tentang jumlah anak dan masa depan, tinggalnya di Jogja pula, aku sangat iri. Sedangkan aku berkaca ke diriku sendiri sepertinya mustahil mendapat kebahagiaan seperti itu. Setelah pesanan mereka dibungkus, mereka lanjut pergi dan Om Pedro kembali duduk di sampingku.

“Nah kaya-kaya gitu Mas pelanggannya, orang-orang lama. Itu mereka suka ke sini dari jaman masih pacaran, anak 2010 itu Mas, jurusannya apa ya? Komunikasi apa ya kalo nggak salah.”

“Hoo udah lama juga ya berarti.”

“Itu cowoknya yang punya Toko Buku Akik di jakal atas sana.”

“Toko buku apa itu Om?” Aku bingung karena aku tahunya akik itu sejenis batu untuk cincin.

“Toko buku bagus itu Mas, gede, wah itu sampe ke Najwa Shihab, Mas.”

“Terus pas mereka nikahan, saya diundang suruh ngisi 150 porsi di sana.”

“Berarti kaya buka stand gitu Om nyajiin 150 minuman Trotoar?”

“Iya Mas, wah mantep itu.”

Mendengar itu semua jadi tambah iri. Iri karena alasan yang sudah kusebutkan sebelumnya ditambah lagi karena punya usaha sebagai sumber pemasukan, usahanya pun bukan yang kecil. Sungguh kehidupan yang aku dambakan. Memang setelah aku googling sepertinya itu toko besar dan benar ada foto Najwa Shihab di sana.

Aku lanjut mengobrol dengan Om Pedro, dia menceritakan sebagian hidupnya dan aku baru tahu kalau dia dulu sekolah perhotelan dan salah 1 anaknya sedang menempuh Sekolah Vokasi UGM jurusan pariwisata. Dia menanyakan aku ke Jogja ada agenda apa. Kujawab tujuanku ke sini liburan menghabiskan cuti tahunan, aku mengunjungi tempat-tempat yang dulu suka aku kunjungi termasuk Trotoar dan bertemu teman-teman lamaku yang masih tinggal di sini. Namun di sisi lain perjalanan ini juga sebenarnya sekaligus upayaku untuk sedikit menghibur diri karena aku harus tertampar kenyataan bahwa aku tidak bisa menikahi perempuan yang kusayangi. Rasanya memang ini adalah patah hati terbesarku, sangat menyesakkan harus bisa menerima semua ini. Kuceritakan secara umum kondisi hubungan kami hingga harus berakhir karena keadaan yang tidak memungkinkan kami untuk berjalan lebih jauh sembari aku menahan air mata yang sedikit mulai keluar karena aku juga malu bila semua tangisku lepas di sini.

“Mas, dulu aku juga ngalamin kaya Mas, dulu pas aku masih kerja restoran di Jakarta aku punya pacar, malah parah dulu aku pacarannya American style.”

Aku tidak paham apa maksudnya American style jadi aku hanya berasumsi dalam hati saja.

“Mas nya udah pacaran berapa lama?”

“Kurang lebih hampir 3 tahun Om.”

“Lama juga ya, aku dulu 5 tahun Mas pacaran dan ujungnya aku nggak disetujui sama orang tua nya karena kondisi ku yang kaya gini. Malah setelah tau gak direstuin, dia ketawan udah sama cowok lain. Wah rasanya Mas… hancur! Pelarianku malah macem-macem nggak bener, mabok-mabokan segala macem.”

“Itu pas umur berapa Om?”

“Umur 29.”

“Lha sama berarti, aku sekarang 29. Terus gimana dulu Om setelah itu?”

“Nggak lama dari situ aku balik ke Jogja Mas, kalo saranku sih pertama bisa olahraga mas buat ngalihin dari sedihnya terus biar sehat juga, aku sekarang juga suka olahraga. Nih mas temen-temen olahragaku.” Ujarnya sambil mengeluarkan HP menunjukkan foto teman-teman sebayanya yang sudah terbilang tua tapi badannya masih bagus.

“Iya sih Om, aku nggak pernah olahraga juga.”

“Sama yang paling penting Mas, back to religion, mungkin ini terdengar klise tapi beneran Mas, ini yang aku lakuin. Masnya agamanya apa?”

“Islam.”

“Nah kebetulan aku juga muslim, jadi dulu aku dari yang bisa dibilang idupnya nggak bener, mulai lagi sholatnya 5 waktu.”

Aku dalam hati menyadari bahwa aku bukan orang yang alim, sholat juga masih bolong-bolong dan masih banyak kurangnya soal agama.

Aku sudah terlalu jauh dari Tuhan.

Dia melanjutkan ceritanya setelah fase sudah pulang ke Jogja dan sudah mulai “sembuh” dari hancur hatinya, juga bisa dibilang mulai bertaubat dari masa lalunya. Bagaimana dia bertemu dengan perempuan yang sekarang menjadi istrinya? Bisa dibilang proses pertemuannya unik, singkat dan nekat. Dia berjodoh dengan teman sekolahnya dulu, rumahnya di Karangwuni yang sekarang mereka tempati. Dulu perempuan itu berbohong sudah punya suami yang sedang kerja jauh, namun setelah mengobrol dengan orang tuanya ternyata dikonfirmasi kalau sebenarnya masih single. Esoknya Om Pedro memberanikan diri mengajaknya jalan-jalan ke Malioboro dan dia langsung menyatakan cintanya padahal itu baru selang 1 hari setelah mereka bertemu kembali sejak jaman sekolah dulu. Singkat cerita, dia memberi kesempatan Om Pedro untuk coba menjalaninya namun aku lupa selang berapa lama hingga akhirnya mereka menikah.

“Untuk ngelewatinnya sangat berat memang Mas, kalo dibilang hancur, ya hancur Mas berkeping-keping, ngumpulin lagi keping-kepingnya, harus kuat Mas.”

“Iya Om kayanya harus dimulai dari nyoba olahraga lagi untuk permulaannya.”

“Mas tau lagunya Bon Jovi nggak yang It’s My Life? Coba dengerin itu Mas.” Sambil Om Pedro menyanyikan penggalan reff nya.

“It’s my life~~ It’s now or never

I ain’t gonna live forever

I just want to live while I’m alive~~”

Tidak terasa waktu menunjukkan sudah hampir pukul 12 malam dan minumanku juga sudah habis.

“Ya udah Om, Makasi ya aku lanjut dulu.” Om Pedro refleks melihat jam.

“Wah udah mau jam 12, inget mas back to religion! Pasti bisa Mas, harus kuat! Nanti kapan-kapan kalo ke sini lagi semoga dapet kabar baiknya.” Ucap Om Pedro sambil tersenyum dan menepuk pundakku.

“Aamiin Om, Makasi ya Om.” Aku berdiri, bersalaman dan beranjak sambil melihat Om Pedro menghitung uang hasil jualannya malam ini.

Tak disangka, aku tidak menceritakan ini ke satu orang pun temanku, justru ke seorang pedagang minuman, eh “street bartender” langgananku saat kuliah dulu, Om Pedro. Entah nanti aku sanggup menjalankan saran-sarannya atau tidak, yang jelas memang fase ini berat sekali rasanya untuk kulalui. Perjalanan kembali ke penginapan, pikiran dan perasaanku penuh bercampur aduk dan masih menyesakkan. Sepertinya aku harus segera tidur.

Januari, 2024